Jogjakarta-Tubuhnya kecil mungil, wajahnya bersih, gerak langkahnya cepat dan cekatan dengan kemampuan berbicara yang lugu namun cerdas. Bayu Muhammad Ridho adalah siswa kelas 11 di SMAN 1 Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. Ayahnya, Kuswanto, hanyalah buruh lepas dengan penghasilan rata-rataRp 500 ribu – Rp1 juta setiap bulannya sedangkan ibunya, Ngaliah,hanya ibu rumah tangga biasa. Dengan kehidupan ekonominya yang dibawah rata-rata tersebut, keluarga Bayu tercatat di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan menjadi peserta Program Keluarga Harapan (PKH) serta memperoleh Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Bayu pun tercatat sebagai penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP).
“Saya menerima KIP,kalau ngga salah sudah 6 kali, mulai kelas 3 dan 4 di SD, di SMP juga dua kali, dan begitu juga di SMA,sudah dua kali, “katanya saat ditemui di rumahnya, di lereng pebukitan Menoreh, Samigaluh,Kulon Progo,Yogjakarta, beberapa waktu lalu.
Bayu bersyukur memperoleh PIP karena bisa meringankan beban orang tuanya. Memperoleh PIP sebesar Rp 1 juta setahun, Bayu gunakan untuk keperluan sekolahnya,seperti membeli baju seragam,Sepatu, tas, dan lainnya.
Beruntung,sejak di bangku SMP, bayu tinggal di Pondok Pesantren Al Falah yang lokasinya tidak jauh dari sekolahnya sehingga tidak membutuhkan transportasi untuk pulang dan pergi sekolah.
“Uang bantuan PIP sebagian saya gunakan untuk membayar biaya di pondok Rp36 ribu sebulan, termasuk untuk makan sehari-hari, “ujar anak sulung dari dua bersaudara ini.
Menurut Bayu,bantuan PIP yang diterimanya sejak SD sangat membantu dan memotivasi dirinya untuk giat belajar dan tidak terlalu memikirkan biaya untuk beli baju, beli buku, dan lainnya. Hasilnya,sejak SD sampai SMA,Bayu selalu menempati ranking 10 besar di kelasnya.
Ditanya soal cita-citanya, dengan sedikit malu-malu, Bayu mengatakan ingin jadi pengusaha. Namun Ketika ditanya keinginannya untuk kuliah, Bayu menjawab dengan lugu, ingin tuntas dulu belajar di pondok pesantren. “Ada sedikit keinginan untuk kuliah,tapi ingin tuntas mengaji dulu di pondok, ujarnya.
Baca juga : Ayu Pramitha, Penerima PIP dan KIP Kuliah yang Selalu Berpikir Positif
Diakui Bayu, pihak sekolahnya beberapa kalimemperkenalkan Bayu pada KIP Kuliah untuk membiayai pendidikan sampai lulus di perguruan tinggi. “Kalau suatu saat nanti bisa kuliah, mungkin saya pilih bidang ekonomi,mungkin di UGM, “katanya.

Kuswanto,ayah Bayu, juga bersyukur anak-anaknya,yakni Bayu dan adiknya memperoleh bantuan PIP dari pemerintah. “Ya,saya,sebagai orang tua belum bisa memberi apa-apa untuk sekolah anak-anak, karena itu dengan memperoleh PIP, saya mendorong Bayu dan adiknya untuk semangat sekolah dan juga mengajinya, “katanya.
Kuswanto berharap Bayu bisa melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. “Kalau pemerintah bisa menyediakan bantuan bagi anak saya untuk kuliah, tentunya saya sangat bersyukur sebab itu membantu sekali, “lanjutnya.
Masih banyak yang belum dapat PIP
Sugeng, Kepala Sekolah SMAN 1 Samigaluh menambahkan, dari 120 orang siswa di sekolahnya, ada sebanyak 71 orangmemperoleh PIP.Namun,diakuinya, masih banyak siswa yang sebenarnya layak memperoleh PIP, namun karena tidak terdata di DTKS, tidak bisa mendapatkan PIP.
“Saya sering mengajak orang tua yang sebenarnya layak dapat PIP namun tidak memperolehnya, untuk segera mengajukan data-data keluarganya ke pihak desa agar terdata di DTKS,bahkan kami siap mendampingi, “ujarnya.
Baca juga : Penyerapan PIP dan KIP Kuliah Perlu Dioptimalkan

Sugeng juga mengakui adanya kendala bagi siswa saat melakukan aktivasi rekening. Kendalanya adalah bank penyalur, yakni BNI adanya di Sentolo yang butuh waktu perjalanan sekitar 1 jam pakai motor.
“Anak-anak di sini umumnya tidak punya motor sehingga akan kesulitan ketika akan aktivasi rekening, “ujarnya.
Sugeng juga mengatakan, setiap saat.kepada para siswa, pihaknya selalu memperkenalkan Program KIP Kuliah. “Pada anak-anak,saya selalu mengatakan, jangan khawatir, meskipun tidak mampu, negara akan membiayainya,”ujarnya.
Namun, Sugeng mengakui, lingkungan masyarakat di Samigaluh kurang begitu mendukung anak-anaknya untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.